KELOMPOK-KELOMPOK YANG BERBEDA PENDAPAT
Dari
hadis-hadis diatas terdapat dua kelompok besar yang saling berbeda pendapat
tentang disunnahkannya sholat qobliyah jumat, padahal mereka berdalil dengan
dalil yang sama, tapi menghasilkan kesimpulan yang berbeda, adapun
kelompok-kelompok itu adalah:
1. Kelompok yang
meyakini bahwa sholat qobliyah jumat itu adalah sunnah
Mereka
berargumentasi dengan:
Dalil umum:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُغَفَّلٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَيْنَ كُلِّ
أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ
صَلاَةٌ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ يَشَاءُ. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِم)ٌ
وَالْمُرَادُ بِالْاَذَانَيْنِ اْلاَذَانُ
وَاْلاِقَامَةُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاء
“Dari Abdullah
bin Mughaffal Radhiyallahu’anh, dari Nabi Shallahu’alaihi wasallam, bersabda:
“Di antara setiap dua adzan, terdapat shalat yang didirikan. Di antara setiap
dua adzan, terdapat shalat yang didirikan. Di antara setiap dua adzan, terdapat
shalat yang didirikan.” Nabi Shallahu’alaihi wasallam bersabda pada ucapan
ketiga: “Bagi yang menghendakinya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Maksud dari
kata dua azan pada hadis ini adalah azan dan iqomah berdasarkan kesepakatan
para ulama.
Hadits di atas
menjadi dasar bagi disunnahkannya Shalat Qabliyah apa saja atau secara umum,
termasuk shalat Jum’at. Sedangkan yang dimaksud dengan adzan dalam hadits di
atas, adalah antara adzan dan iqamah berdasarkan kesepakatan para ulama,
sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab (juz III, hal. 503). Dengan demikian, hadits di atas secara umum
memberikan kesimpulan, bahwa di antara setiap adzan dan iqamah terdapat Shalat
Qabliyah yang disunnahkan, termasuk shalat Jum’at.
Berkaitan
dengan hadits Abdullah bin Mughaffal di atas, sebagian kelompok yang
membid`ahkan solat sunnah qobliyah jumat menampakkan inkonsistennya dalam
memahami hadits-hadits Nabi Shallahu’alaihi wasallam. Di satu sisi, mereka
menolak adanya bid’ah hasanah, berdasarkan keumuman hadits kullu bid’atin
dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat). Padahal keumuman hadits ini,
telah dibatasi oleh sekitar 300 hadits dan atsar ulama Salaf yang shaleh. Di
sisi lain, mereka menolak keumuman hadits Abdullah bin Mughaffal di
atas, yang berbunyi baina kulli adzanaini shalatun (setiap di antara
adzan dan iqamah, terdapat shalat sunnah yang didirikan), dan
mengecualikan shalat Jum’at dari keumuman hadits tersebut. Padahal hadits
tersebut tidak ada yang membatasi jangkauan hukumnya.
Dan hadis
Nubaisyah al-hudzali:
عَنْ نُبَيْشَةَ الْهُذَلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا
اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ أَقْبَلَ إِلىَ الْمَسْجِدِ لاَ يُؤْذِيْ
أَحَدًا فَإِنْ لَمْ يَجِدِ اْلإِمَامَ خَرَجَ صَلىَّ مَا بَدَا لَهُ وَإِنْ
وَجَدَ اْلإِمَامَ قَدْ خَرَجَ جَلَسَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ حَتَّى يَقْضِيَ
اْلإِمَامُ جُمْعَتَهُ وَكَلاَمَهُ إِنْ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فِيْ جُمْعَتِهِ
تِلْكَ ذُنُوْبُهُ كُلُّهَا أَنْ تَكُوْنَ كَفَّارَةً لِلْجُمْعَةِ الَّتِيْ
تَلِيْهَ
Dari Nubaisyah
al-Hudzali Radiyallahu’anh, Nabi Shallahu’alaihi wasallam bersabda: “Apabila
seorang Muslim mandi pada hari Jum’at, lalu berangkat ke Masjid tanpa
mengganggu atau menyakiti orang lain. Apabila ia tidak mendapati imam telah
keluar, maka ia shalat sunnat sesuai yang telah ditetapkan. Apabila imam telah
keluar, maka ia duduk mendengarkan khutbahnya sampai imam menyelesaikan jum’at
dan khuthbahnya. Maka apabila semua dosa orang tersebut tidak diampuni pada
Jum’at itu, maka Jum’atnya menjadi penebus dosanya sampai Jum’at berikutnya.”
(HR. Ahmad).
Dalam hadits
di atas diterangkan tentang keutamaan seseorang yang menunaikan shalat sunnah
Jum’at sebelum imam keluar atau datang ke Masjid. Tentu saja, shalat tersebut
adalah shalat Qabliyah Jum’at. Al-Imam al-Syaukani, menguraikan dalam kitabnya
Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar (juz III, hal 314), sekian banyak dalil
kesunnahan shalat Qabliyah Jum’at, dan mematahkan argumentasi kelompok yang
menganggapnya tidak sunnah.
Dalil qiyas:
Di antara
dalil kesunnahan shalat Qabliyah Jum’at adalah dalil qiyas (analogi), yaitu
diqiyaskan dengan shalat Dhuhur, imam bukhari meriwayatkan:
… عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا
رَكْعَتَيْنِ. (صَحِيْحُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abdullah
bin Umar, bahwa Rasulullah Shallahu’alaihi wasallam selalu menunaikan shalat
sunnah dua raka’at sebelum Dhuhur dan sesudahnya.” (HR. al-Bukhari [937]).
Dalam kutipan
di atas, al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya menulis bab khusus tentang
kesunnahan shalat Qabliyah dan Ba’diyah Jum’at. Kemudian beliau menjelaskan
dasar hukumnya, yaitu hadits Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallahu’alaihi
wasallam menunaikan shalat sunnah dua raka’at sebelum dan sesudah shalat
dhuhur. Dalam hal ini, jelas sekali bahwa al-Imam al-Bukhari mengqiyaskan
shalat Jum’at dengan shalat dhuhur.
2. Kelompok yang
meyakini bahwa solat sunnah qobliyah jumat tidak ada
Kelompok ini
mengatakan:
Jika
memperhatikan berbagai riwayat-riwayat tentang shalat sebelum khotib naik
mimbar maka kita akan dapatkan bahwa tidak ada shalat sunnah qabliyah jumat.
Karena riwayat-riwayat yang ada berbicara tentang adanya shalat sunnah mutlak.
Artinya seseorang boleh shalat sunnah sebelum shalat Jum’at. Seperti beberapa
riwayat di bawah ini:
عن سَلْمَانَ الْفَارِسِي رضي الله عنه قَالَ : قَالَ
النَّبِي صلى الله عليه وسلم : ( لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ،
وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ
يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ،
ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ،
إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى ) رواه البخاري :
883
Dari Salmaan
Al Faarisi, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, lalu ia bersuci semampu dia, lalu
ia memakai minyak atau ia memakai wewangian di rumahnya lalu ia keluar, lantas
ia tidak memisahkan di antara dua jama’ah (di masjid), kemudian ia melaksanakan
shalat yang ditetapkan untuknya, lalu ia diam ketika imam berkhutbah, melainkan
akan diampuni dosa yang diperbuat antara Jum’at yang satu dan Jum’at yang
lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)
Dan hadis
Nabi:
وعن ثعلبة بن أبي مالك أنهم كانوا في زمان عمر بن الخطاب
يصلون يوم الجمعة حتى يخرج عمر . أخرجه مالك في “الموطأ” (1/103) وصححه النووي في
“المجموع” (4/550).
Dari Tsa’labah
bin Abi Malik, mereka di zaman ‘Umar bin Al Khottob melakukan shalat (sunnah)
pada hari Jum’at hingga keluar ‘Umar (yang bertindak selaku imam). (Disebutkan
dalam Al Muwatho’, 1: 103. Dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu’, 4: 550).
Dan hadis
Nabi:
وعن نافع قَال : كان ابن عمر يصلي قبل الجمعة اثنتي عشرة
ركعة . عزاه ابن رجب في “فتح الباري” (8/329) لمصنف عبد الرزاق .
Dari Naafi’,
ia berkata, “Dahulu Ibnu ‘Umar shalat sebelem Jum’at 12 raka’at.” (Dikeluarkan
oleh ‘Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya 8: 329, dikuatkan oleh Ibnu Rajab dalam
Fathul Bari).
Masih banyak
lagi riwayat semisal yang menjelaskan adanya shalat sunnah mutlak sebelum
shalat Jum’at. Namun tidak benar jika riwayat ini dan semisalnya dijadikan
dalil adanya sunnah qabliyah jum’at. Karena seandainya yang dimaksud adalah
shalat rawatib tersebut, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
punya kesempatan melakukannya (karena pada zaman nabi azan hanya sekali dan
setelah azan beliau langsung khutbah dan sholat) Maka tidak ada waktu untuk
shalat sunnah setelah adzan. Jika dilakukan sebelum adzan maka ini tidak bisa
dikatakan sebagai shalat qabliyah jumat, tetapi solat sunnah mutlak..
Jika ada yang
menyatakan adanya shalat sunnah rawatib sebelum Jum’at, maka kami katakan,
“Kapan waktu melakukan shalat tersebut di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam?” Jika dijawab, “setelah adzan”. Maka tidaklah benar karena tidak ada
dalil yang mendukungnya. Yang terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah adzan Jum’at hanya sekali.dan setelah azan beliau langsung naik
mimbar untuk berkhutbah dan sholat setelah khutbah beliau selesai.
Jika dijawab, “sebelum
adzan”. Maka seperti itu bukanlah shalat sunnah rawatib. Itu disebut shalat
sunnah mutlak.
Salah seorang
ulama besar Syafi’iyah, Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata:,
وأما سنة الجمعة التي قبلها فلم يثبت فيها شيء
“Adapun shalat
sunnah rawatib sebelumm Jum’at, maka tidak ada hadits shahih yang
mendukungnya.” (Fathul Bari, 2: 426)
Ibnul Qayyim
dalam Zaadul Ma’ad menyebutkan,
” وكان إذا فرغ بلال من الأذان أخذ النبي صلى الله عليه وسلم
في الخطبة ، ولم يقم أحد يركع ركعتين البتة ، ولم يكن الأذان إلا واحدا ، وهذا يدل
على أن الجمعة كالعيد لا سنة لها قبلها ، وهذا أصح قولي العلماء ، وعليه تدل السنة
، فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان يخرج من بيته ، فإذا رقي المنبر أخذ بلال في
أذان الجمعة ، فإذا أكمله أخذ النبي صلى الله عليه وسلم في الخطبة من غير فصل ،
وهذا كان رأي عين ، فمتى كانوا يصلون السنة ؟
“Jika bilal
telah mengumandangkan adzan Jum’at, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung
berkhutbah dan tidak ada seorang pun berdiri melaksanakan shalat dua raka’at
kala itu. (Di masa beliau), adzan Jum’at hanya dikumandangkan sekali. Ini
menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu seperti shalat ‘ied yaitu sama-sama tidak ada
shalat sunnah qobliyah sebelumnya. Inilah di antara pendapat ulama yang lebih
tepat dan inilah yang didukung hadits. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dahulu pernah keluar dari rumah beliau, lalu beliau langsung naik mimbar dan
Bilal pun mengumandangkan adzan. Jika adzan telah selesai berkumandang, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkhutbah dan tidak ada selang waktu (untuk
shalat sunnah kala itu). Inilah yang disaksikan di masa beliau. Lantas kapan
waktu melaksanakan shalat sunnah (qobliyah Jum’at tersebut)?”
Ibnul Qayyim
rahimahullah menyebutkan pendalilan orang-orang yang menyatakan adanya sunnah
Qabliah dan memberi bantahan yang luar biasa bagusnya kepada mereka. (lihat
Zadul Ma’ad, 1/417—424). “Sesungguhnya, di antara yang menyebabkan sebagian orang
melakukan sholat sunnah Qabliah Jumat yang tidak ada contohnya dari Nabi ﷺ
dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah adanya azan awal sebelum khatib
naik mimbar.”
Oleh karena
itu, kami tegaskan kembali ucapan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam
al-Umm. bahwa azan Jumat yang beliau sukai adalah seperti yang ada di zaman
Rasulullah ﷺ,
yaitu satu kali azan ketika Rasulullah ﷺ naik mimbar.
Jadi ketika
kita masuk masjid, jika kita bukan imam, maka lakukanlah shalat tahiyatul
masjid dan boleh menambah shalat sunnah dua raka’at tanpa dibatasi. Shalat
sunnah tersebut boleh dilakukan sampai imam naik mimbar. Dan shalat sunnah yang
dimaksud bukanlah shalat sunnah qobliyah Jum’at, namun shalat sunnah mutlak. (Iqbal Mbr)
1 Komentar
Bagaimana cara atau kiat jitu menjual kaos Dakwah, yuk kita simak tulisan ini: Kiat Jitu Merintis Pabrik Kaos Dakwah
BalasHapus